Thursday 28 August 2014

Air Asia : Jawaban dari Mimpi

Saya masih bisa mengingat satu frame ketika mengantarkan saudara saya kembali dari Yogyakarta pada dekade 90an. Sebuah gambar mengenai mahal dan mewahnya naik pesawat. Hanya orang yang berkocek tebal yang mampu terbang, pikir saya waktu itu. Jangankan untuk mencicipi naik pesawat, boro-boro mendekat, keluarga saya mana ada yang mampu untuk membeli tiket pesawat kala itu.

Bangkok, 1st Time with Air Asia
Pemikiran itu saya bawa seiring dewasa. Kalau ingin bepergian, ya jangan menggunakan pesawat. Pakai kendaraan sendiri saja. Biar irit, bisa banyak pula isinya. Jangankan kepikiran ke luar negeri naik pesawat, pemahaman saya waktu itu adalah ke Jakarta naik bus saja sudah luar biasa mahalnya. Hal inilah yang membuat saya selalu punya pilihan destinasi kalau tidak ke Jakarta, ya ke Bali. Pokoknya bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan arus globalisasi, perubahan kebijakan dan strategi perang transportasi udara membawa angin segar bagi para rakyat biasa seperti saya. perang tarif antar maskapai pun semakin gencar, dan akhirnya mulai datang kesempatan saya untuk menaiki burung besi ini. Impian yang tadinya terlihat tidak mungkin, kini menjadi sesuatu yang nyata. Namun pada tahun itupun, image saya mengenai dunia penerbangan masih sama seperti dulu. Masih penuh dengan kemewahan dan kesan terlalu mahal masih melekat dalam benak saya. Beberapa kali terbang pun pandangan saya naik pesawat tetap sama, mahal! Apalagi ketika saya mendapatkan hibah tiket untuk bepergian ke Singapura, kesannya saya tidak akan bakalan mampu untuk membeli tiket pesawat.

Sebuah image yang melekat mengenai orang kaya saja yang bisa terbang kemudian sedikit terkikis setelah saya bepergian ke Bangkok bersama dengan keluarga besar saya pada Akhir Desember 2007. Air Asia? Pesawat dari mana itu? Sampai Bangkok nggak itu? Keraguan menggunakan maskapai murah justru hinggap di saat sebelum berangkat. Apalagi waktu itu boradingpass air asia hanyalah secarik sobekan kertas tanpa nomor tempat duduk yang membuat saya dan sepupu saya untuk berlari menuju pesawat untuk mendapatkan tempat duduk dalam 1 deret. Bukannya kapok, namun justru itu menjadi sebuah keasyikan tersendiri dan kenangan yang lucu untuk kami.

Mengenal Banyak Orang dan Kultur
Tujuh tahun berlalu dari kejadian itu, siapa sangka, penerbangan “murah” itu justru menjadi sahabat terbang saya sampai saat ini. Tidak hanya saya, mungkin dunia pun mengakui bahwa Air Asia menjadi leader di kelasnya. Menyabet gelar sebagai Maskapai Budget Rendah selama bertahun-tahun tentu saja tidak lepas dari kerja keras dan dedikasi Air Asia untuk mewujudkan impian banyak orang untuk bisa terbang. Tag “Now Everyone Can Fly” tampaknya bukan hanya isapan jempol belaka. Banyak cerita inspiratif dari banyak orang yang berhasil mewujudkan mimpinya untuk terbang bersama Air Asia. Dari yang akhirnya disiplin menabung untuk mewujudkan mimpinya, memberi hadiah untuk keluarganya naik pesawat, hingga orang-orang yang berhasil terbang menjejakkan kaki di seluruh dunia dengan Air Asia, dari yang tidak mungkin, kini bisa menjadi kenyataan.

Tidak hanya kisah dari orang lain, Air Asia kini secara tidak langsung mengubah banyak pemikiran dalam diri saya. Saya selalu membayangkan terbang itu mahal, kalau murah itu nggak aman. Namun Air Asia mampu menepis pemikiran itu. Saya akhrinya mempunyai perubahan mindset bahwa suatu perjalanan itu tidaklah ribet dan juga tidak mahal. Bawa apa yang kamu perlukan, bayar sesuai yang kamu butuhkan. Salah satu konsep berpikir ini saya dapatkan setelah beberapa kali naik pesawat terbang. Saya mulai menyadari memang ada kemewahan yang didapatkan ketika naik Full Board Airlines,tapi saya selalu menentang, wong saya hanya ingin pergi dari sini ke sana kok,untuk apa saya bayar lebih mahal untuk fasilitas yang sebenarnya tidak terlalu saya butuhkan?

Perubahan itu tidak hanya dalam aspek”membayar apa yang dibutuhkan” tetapi saya kini berubah dari sosok yang selalu ribet dalam bepergian, menjadi sosok yang sangat ringkas dalam bepergian. Istilah kerennya sih light traveller :D terinspirasi dari penambahan biaya-biaya bagasi saya justru berpikir bagaimana saya tida perlu membayar penambahan biaya, namun cukup membawa barang yang saya butuhkan dalam satu ransel. Selain ringkas, juga barang yang saya bawa sesuai dengan kebutuhan.

Terbiasa Menjadi Solo Traveler
Hal yang saya dapatkan dari memburu mimpi saya dengan begadang demi mendapatkan tiket murah adalah keberanian mengambil keputusan. Tak jarang tiket yang saya beli adalah untuk periode penerbangan tahun depan, atau bahkan belum pasti bisa berangkat atau tidak. Saya juga belajar untuk siap dengan segala kemungkinan terburuk sebagai konsekuensi dari pembelian tiket saya yang terlalu jauh termasuk hangusnya tiket saya akibat Visa Australia yang ditolak. Tapi itu harga yang pantas untuk membeli mimpi saya menjelajah dunia. Saya tidak kapok, justru saya semakin bersemangat dan tertantang untuk menjelajah dunia.

Tiket PromoKE Penang Bersama Sahabat
Kini, saya ditempeli predikat AGI alias Anak Gaul Internasional oleh rekan kerja saya di kantor karena banyaknya penerbangan saya ke luar negeri. Bahkan beberapa menilai saya boros dan menghamburkan uang banyak untuk bepergian. Namun saya tekankan kepada mereka satu hal,terbang ke luar negeri itu bukan sesuatu yang mahal. Yang perlu diperhitungkan adalah perencanaan yang matang untuk bepergian, jadi apa yang dikeluarkan akan sesuai dengan yang dibutuhkan. Hal ini juga yang membuat beberapa rekan saya seringkali berkonsultasi dengan saya karena seringnya saya (yang bahkan mereka sulit percaya) mendapat tiket murah, bahkan gratis.  Salah satu cara yang selalu saya rekomendasikan pada rekan kerja saya dan keluarga tentu saja, pilihlah Air Asia untuk mewujudkan itu semua!

Air Asia Membawa Orang Tua Saya Terbang ke Hongkong
Untuk saya,terbang saat ini adalah suatu kebutuhan, bukan lagi kemewahan. Terbang menjadi kultur pada diri saya dan kini menular pada keluarga saya. Perjalanan itu bukan tentang tujuannya tetapi perjalanan itu sendiri kalau menurut kata bijak. Air Asia menggerakkan kami untuk terus bepergian dan mengenal banyak orang dan budaya yang akhirnya membawa kami untuk senantias berkaca pada diri dan mensyukuri semua yang diberikan olehNya pada kami. Ya, Air Asia kini telah mengubah pemikiran saya, menginspirasi, mewujudkan mimpi saya, dan bisa menerbangkan keluarga saya yang sejak dulu hanya bisa bermimpi untuk terbang.

Bravo Air Asia, Selamat Ulang Tahun yang ke-10! Terima kasih atas kesempatan menjelajah dunia dengan Air Asia. Semoga semakin banyak kisah-kisah inspiratif dan  mimpi yang bisa diwujudkan bersama Air Asia.

#Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam Kompetisi Blog 10 Tahun Air Asia Indonesia

Gresik, 28 Agustus 2014
00.15 WIB






Wednesday 27 August 2014

SATU MALAM BERSAMA SANCAKA SORE #UNTUKKERETAKU


Saya sejak dulu senang bila bepergian menggunakan kereta api. Selain bebas macet,jarak tempuh ke suatu tempat menjadi lebih singkat. Meski begitu, ada beberapa perjalanan saya yang karena alasan teknis menjadi lebih lama dari seharusnya. Tidak hanya satu dua jam saja, namun hingga lebih dari setengah hari untuk perjalanan kereta yang seharusnya hanya ditempuh 4 jam.Tapi, entah mengapa, justru dari situlah banyak cerita yang unik dan menjadi menarik yang saya alami.

Stasiun Boharan Kala Siang Hari
Perjalanan kali itu adalah perjalanan menggunakan Sancaka Sore hari Sabtu dengan rute Surabaya Gubeng-Yogyakarta Tugu. Biasanya saya berangkat menuju Jogja pada Jumat malam. Namun pada akhir minggu itu saya ada keperluan kantor dan baru bisa kembali ke Jogja pada Sabtu Sore.

Stasiun Boharan Malam Hari
Kereta Sancaka Sore berangkat tepat pada waktunya dari Stasiun Surabaya Gubeng. Waktu itu jadwal keberangkatannya masih pukul 15.00. Sepuluh menit kemudian, kereta berhenti di Stasiun Woonokromo seperti biasa. Namun, hampir setengah jam, kereta tidak kunjung berangkat. Saya yang kebetulan duduk di rangkaian bisnis depan sendiri sempat turun dari kereta dan mengamati lokomotif dari dekat. Bahkan ada beberapa anak muda yang asyik foto di depan lokomotif.

Lampu sinyal merah berubah menjadi hijau, pertanda kereta siap berangkat menuju Jogja. Setelah berjalan dengan tidak terlalu kencang, akhirnya kami sampai di Staiun Boharan. Sebuah stasiun kecil di sekitar daerah Krian. Kereta berhenti cukup lama. Awalnya saya pikir akan ada kereta lain yang lewat. Namun ditunggu cukup lama tidak ada kereta apapun yang lewat. Dan ternyata, tidak tanggung-tanggung, kereta berhenti selama kurang lebih 5 jam! Penyebabnya kini jelas, ada kereta di depan kami yang anjlok sehingga lalulintas kereta api tersendat. Alih-alih merasa sebal, saya justru asyik mengeksplorasi daerah tersebut. Menurut orang sekitar, sebenarnya jaraknya ke jalan besar tidak terlalu jauh apabila ingin menggunakan bus atau kembali ke Surabaya. Namun saya pikir tanggung karena saya sekalian ingin jalan-jalan saja.

Menurut petugas stasiun, Stasiun Boharan termasuk kereta yang jarang disinggahi oleh kereta api bahkan kereta barang sekalipun. Jadi mendengar dari obrolan dan candaan rekan-rekan dari KAI sendiri, petugas Stasiun Boharan kala itu sangat senang karena mendadak banyak tamu. Di tengah areal persawahan dan tidak ada apapun di ssekitarnya, mendadak jadi ramai. Kereta kami mulai jadi tontonan warga sekitar dan anak-anak mereka yang sedang berjalan-jalan sore. Semakin malam, stasiun yang tadinya sepi mendadak berubah penuh dengan aneka penjual makanan! Mulai dari es krim, susu, bakso yang sampai 2 gerobak, mainan anak-anak dan banyak lagi! Penumpang yang menunggu dan kelaparan pun menyerbu para penjual makanan tersebut, termasuk saya tentunya.

Menanti
Bergaya Ala Kepala Perjalanan
Sore beranjak malam,dan pasar malam dadakan masih saja setia meramaikan Stasiun Boharan itu. Saya pun masuk ke dalam kantor stasiun dan mendapati kondektur kereta kami dan juga Kepala Stasiun Boharan sedang mengobrol. Saya minta izin untuk bisa memasuki kantor tersebut dan dengan ramah beliau berdua mempersilahkan saya masuk. Dengan raut muka kelelahan, kondektur kami masih setia melayani dengan ramah pertanyaan penumpang seputar kapan kereta berangkat lagi, ada kejadian apa, bisa di refund tidak tiketnya dan sebagainya.

Saya duduk di ruangan itu dan mengamati begitu banyak pernik stasiun yang belum pernah lihat. Saya yang sejak dulu senang dengan kereta api malah justru memberikan banyak pertanyaan mengenai ini itu kepada Kepala Stasiun. Bahkan saya sempat mencoba menggunakan topi petugas pemberangkatan kereta api dan berpose menggunaakan sinyal berangkat. Seorang bapak yang tadinya memperhatikan ternyata juga ingin berfoto menggunakan topi tersebut da akhirnya mengikuti jejak saya. tak puas sampai di situ, saya meminjamtopi kondektur dan justru asyik berfoto di depan tulisan Stasiun Boharan dan juga Kepala Stasiun. Banyak yang menertawai saya, tapi karena dari dulu saya kepingin ya kapan lagi. (Foto tersebut saya unggah ke media sosial dan banyak dari teman saya yang bertanya apakah sekarang saya pindah ke PT KAI hehehe).

Tidak Cuma itu saya juga mempelajari sinyal sinyal mengenai perkeretaapian. Saya juga melihat bagaimana cara petugas memindahkan jalur kereta, membaca posisi kereta dan sebagainya. Sebuah pengalaman baru yang seru untuk saya. Saya juga menjadi sangat respek dengan para petugas KAI yang senantiasa siaga untuk menjalankan tugsanya dengan penuh tanggung jawab. Sebuah tanggung jawab yang tidak kecil karena lalai sedikit saja, bisa terjadi kejadian yang fatal.

Berpose dengan Sesama Penggemar Kereta
Setelah 5 jam berhenti, akhirnya kereta pun diberangkatkan lagi menuju ke Yoyakarta. Para penumpang yang masih setia menanti akhirnya masuk ke dalam kereta. Karena banyak enumpang yang kembali ke Surabaya dan banyak kursi kosong, saya yang tadinya mendapat kelas bisnis pun berpindah di kelas eksekutif.

Hanya berselang 2 stasiun, kereta kami kembali berhenti. Kini di stasiun Kedinding. Sebuah stasiun kecil sebelum stasiun Tarik. Kereta cukup lama juga berhenti di stasiun Kedinding. Saya pun kembali meminta izin kepada Kepala Stasiun yang kala itu juga cukup senang meski mendapat banyak tamu dadakan. Saya pun mengetahui untuk menjadi petugas Stasiun benar-benar tidak mudah. Saya dtunjukkan sebuah buku panduan yang sangat tebal yang merupakan panduan para Petugas Kereta Api untuk enjalankan tugasnya sehari hari. Lebih luar biasanya lagi, beliau para petugas ini hafal isinya. Salut!

Setelah masuk kereta api ekonomi dari arah Yogyakarta, kereta kami bergerak lagi. Para petugas resto KA membagikan mie dalam cup untuk para penumpangnya. Namun karena sudah mengantuk, saya pun terlelap hingga akhirnya kereta tiba di Yogyakarta pada pukul 06.00 pagi.



Perjalanan yang mungkin cukup lama bagi suatu jarak yang harusnya bisa ditempuh hanya dengan 4 jam saja. Namun saya tidak jera juga untuk naik kereta api di banyak perjalanan saya. dalam perjalanan ini pun belajar mengenai arti sebuah dedikasi dan integritas dalam berkarya serta menjalankan tanggung jawab dari para petugas kereta api terutama di stasiun kecil dan perlintasan yang sepi. Sebuah hal yang patut diapresiasi! Maju terus PT Kereta Api Indonesia! Hidup Penglaju Kereta! :D


Gresik, 27 Agustus 2014

Widiarto Dwi Pracoyo
widiarto.pracoyo@gmail.com


*Tulisan Ini dibuat untuk diikutsertakan dalam kompetisi menulis #UntukKeretaku 

Tuesday 19 August 2014

SERING NAIK KERETA, BANYAK KENALANNYA! #UNTUKKERETAKU

Saya ingat sekali sejak kecil saya sudah senang sekali naik kereta api. Sampai dengan SMA saya sering menggunakan kereta api selain jarak pendek Jogja-Solo juga ke Bandung dan Jakarta karena sebagian besar keluarga besar saya berada di kota itu.Saya pernah nyletuk ke ibu saya waktu kecil, “Bu, Kapan ya kita naik kereta api ke Surabaya? Apa karena nggak ada saudara kita di Surabaya, jadi kita nggak pernah naik kereta api ke Surabaya?”

Namun siapa sangka, 10 tahun kemudian, Ucapan itu justru kembali kepada saya yang sekarang menjadi pelanggan tetap kereta api Sancaka Sore jurusan Yogyakarta-Surabaya hampir setiap minggu sejak pertengahan tahun 2011 sampai sekarang!

Tiga tahun duduk di dalam bangku kereta api setiap minggu mebuat saya berkenalan dengan berbagai macam jenis dan ragam manusia. Meskipun makin sering saya naik Sancaka, saya perhatikan orangnya ya hanya itu-itu saja alias sama saja dengan saya yang selalu pulang pergi dengan Sancaka Sore setiap minggu. Dari banyak orang itu, muncul juga kejutan-kejutan yang tidak terduga dan cerita-cerita seru dari perjalanan bersama orang-orang tersebut :

  1. Seorang  bapak yang rajin bolak-balik dari Solo-Surabaya. Bapak IS yang kini saya tahu beliau adalah salah satu petinggi perusahaan telekomunikasi Indonesia Regional Jawa Timur. Bapak ini juga yang mengajari untuk membeli pecel di Stasiun Madiun, bukan dari pedagang yang menjajakan di pintu kereta namun benar-benar turun ke Stasiunnya. Kami harus berpacu dengan waktu berhenti kereta yang singkat demi mendapatkan nasi pecel hangat. Sampai sekarang saya masih sering bertemu dengan beliau di Sancaka.
  2. Seorang BApak Hakim yang kini ditugaskan di Mojokerto. Bapak T ini banyak bercerita mengenai seluk beluk hukum di Indonesia. Dari beliaulah saya tahu mengenai wisata di Trowulan dan juga peraturan bahwa 20 tiket bisa ditukar dengan 1 tiket (sebelum ada pengumunan dari KAI seperti sekarang)
  3. Mas T, seorang Karyawan Perusahaan Pemerintah di Surabaya, yang ternyata setelah saya ngobrol, YBS adalah adik kelas kakak saya dan juga sekaligus teman kecil sepupu saya, dan tetangga dosen saya! dunia sempit ya :D
  4. Mas A dan Mbak I, Kedua orang ini adalah teman SMP dan SMA saya! selama ini saya tidak pernah menemukan ada teman angkatan saya yang bekerja di Surabaya dan sekitarnya, lah, ternyata setiap minggu ada mereka juga di Sancaka
  5. Mas H yang ternyata adalah anak dari kolega ibu saya
  6. Mas I, yang saat ini sudah pindah ke Surabaya bersama dengan istrinya setelah kelahiran anak pertama mereka.
  7. Mas A, seorang pengusaha furnitur dan juga tukang negbolang yang calon istrinya masih berdomisili di Jogja. Lumayan, harga produknya jadi harga teman :D
  8. Ada satu bapak dari Madiun yang saya perhatikan selalu menggunakan jaket “Australia” bergambar Koala dan tas Janport. Beliau selalu naik dari Madiun Menuju Surabaya.
  9. Ada satu Bapak yang saya tidak tahu, tetapi waktu saya duduk di kursi depannya, saya mendengar beliau mengobrol dengan sebelahnya, beliau berkata, “ Saya bolak-balik mas tiap minggu dari Jogja ke Surabaya, ini sama kayak Mas yang duduk di depan ini, tiap minggu juga pulang”

Itu semua di luar teman kulaah dan tentu saja teman kantor saya yang sebagian besar pulang ke Jogja ketika Weekend. Bahkan ketika ada acara pernikahan teman kantor kami misalnya, hampir dapat dipastikan setengah gerbong itu kami saling kenal.

Satu lagi, saya pernah menyesal setengah mati ketika tahu cewek yang saya gebet duduknya hanya satu kursi di depan saya dan kami sama-sama tidak tahu padahal kebetulan kereta kosong dan kami berdua sama-sama duduk sendiri. Kami beru menyadari ketika sampai di Surabaya Gubeng hehehehe...
Mungkin masih banyak lagi orang yang saya temui di kereta, dan semuanya memberikan cerita dan pengalaman masing-masing. Sampai sekarang pun saya selalu bersiap untuk kejutan-kejutan dari orang di sebelah saya di Kereta  Sancaka Sore

*Tulisan ini Dibuat untuk mengkuti lomba #UntukKeretaku

ROMBONGAN AJAIB, DARI DANGDUTAN HINGGA OBAT NYAMUK #UNTUKKERTAKU


Sebagai pelanggan hampir setiap minggu dengan kereta api Sancaka jurusan Yogyakarya-Surabaya, banyak sekali kenalan, cerita, dan kejadian seru yang saya alami ketika naik kereta api. Salah satu kejadian seru dan kadang masih membuat saya geli terjadi sekitar pertengahan tahun 2013.

Waktu itu saya naik kereta Sancaka Sore kelas bisnis seperti biasanya. Karena saya datang agak awal, rangkaian kereta sudah tersedia di peron biasanya namun belum tersambung dengan lokomotif. Duduklah saya di kursi favorit saya yaitu dekat dengan jendela. Tak lama kemudian, masuklah satu rombongan entah keluarga entah rombongan rekreasi dan mulai duduk sesuai dengan tiket mereka. Rombongan itu terdiri dari sekitar kurang lebih 10 orang dan salah satunya duduk di sebelah saya. Ya, namanya juga rombongan habis jalan-jalan, pasti mereka bercerita dengan seru mengenai pengalaman mereka berjalan-jalan di Jogja.

Di tengah obrolan itu, salah seorang dari mereka menceletuk “loh, ini kursinya nggak kebalik ya? Kita kan mau ke Surabaya, ini kursinya salah hadap”. Teman yang lain juga menimpali “Iya, tadi kan kita nggakl lihat lokomotif di depan, pasti ini kebalik. Ayo, kursinya dibalik semua”.

Dan setelah itu mereka riuh untuk memutar kursi ke arah sebaliknya. Mungkin ada beberapa dari mereka yang belum pernah naik kereta sehingga belum mengerti caranya. Saya sih, masih memperhatikan dengan heran, dan entah mengapa, saya kok merasa jahat banget nggak memberi tahu mereka kalau arahnya terbalik. Tapi waktu itu saya masih asyik nonton di Tablet dan mereka makin riuh ngobrol, jadi saya biarkan saja.

Kereta berangkat tepat pada waktunya. Pemimpin Perjalanan KA dengan mikrofon wirelessnya memberangkatkan kami. Rupanya rombongan itu masih belum sadar kalau keretanya berjalan mundur dan masih asyik bercerita mengenai perjalan mereka di Jogja. Barulah setelah beberapa saat, salah seorang dari mereka menyadari dan berteriak ke rekan-rekannya untuk memutar kursi mereka kembali.

“Keseruan” rombongan itu ternyata tidak hanya sampai di situ. Di tengah perjalanan, salah satu rombongan mereka yang duduk di sebelah saya mulai memasang headset dan menyetel musiknya dengan volume yang luar biasa kencangnya hingga saya yang juga menggunakan headset dan sedang menonton video sampai bisa kedengaran! Lagunya adalah lagu Singkong Keju (Anak Singkong) yang liriknya:

Aku suka jaipong kau suka disko o’ o’ o’..Aku suka singkong kau suka keju oh oh oh....”

Saya hampir setengah mati menahan ngakak karena ternyata, si Bapak juga ikut nyanyi dengan keras sambil headset menempel di telinga! Untunglah tak lama kemudian, rombongan lainnya memberitahu untuk mengurangi suaranya.

Perjalanan pun makin ke Timur dan penumpang sedikit demi sedikit mulai tertidur seiring gelap yang datang. Rombongan sebelah juga mulai terkantuk-kantuk dan suasana sedikit sepi. Sejurus kemudian, terdengar lagu Anak Singkong kembali, kali ini melalui pengeras suara HP salah seorang dari mereka! Dan itu kencangnya bisa terdengar sampai satu Gerbong! Saya yang tadinya mengantuk kembali menahan ngakak karena lirik lagunya yang unik itu. Alunan lagu lawas dan dangdut terus terdengar sementara saya mulai mengendus aroma sesuatu terbakar, namun saya merasa tidak asing dengan baunya. Saya hampir yakin ini dari rombongan “seru” ini. Saya berpura-pura ke kamar mandi dan mencari sumber baunya dan saya mendapati salah satu dari mereka membawa obat nyamuk elektrik! Usut punya usut, anak mereka tertidur dan orang tuanya menyalakan obat nyamuk elektrik supaya sang anak lelap tidurnya. Boleh juga idenya untuk membawa obat nyamuk elektrik di dalam kereta! Perjalanan yang penuh dengan”Keseruan” :D


*Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti lomba menulis #UntukKeretaku